Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan (PBK)
PBK adalah
pembelajaran yang diselenggarakan dengan menggunakan berbagai potensi (sumber
daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam,
sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi dengan
tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dalam dirinya dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Hubungan agar satuan pendidikan berjalan
dengan lancar
Sekolah harus mempunyai hubungan yang baik dengan
masyarakat luar agar sekolah tersebut dapat diterima ditengah- tengah
masyarakat untuk mendapatkan aspirasi dan simpati dari masyarakat juga agar
program sekolah berjalan dengan lancar. Bertujuan juga untuk meningkatkan
pengertian warga masyarakat tentang kebutuhan dan praktek pendidikan serta
berupaya dalam memperbaiki sekolah. Sekolah dan masyarakat adalah partner yang
seharusnya mampu menjalin interaksi yang saling menguntungkan, sekolah harus
mampu menampung aspirasi masyarakat karena masyarakat lah pemasok sekaligus
pemakai output sekolah.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dunia sekolah
tidak akan mampu mensterilkan murid dari perilaku masyarakat di sekelilingnya,
untuk itu sekolah memerlukan dukungan masyarakat dalam memberikan ketauladanan
dalam mengajarkan akhlak mulia. Begitu juga dengan aspek psikomotorik. Hanya
melalui latihan-latihan konkret di lingkungan sekitar yang akan membuat murid
belajar untuk melatih kemampuan psikomotriknya sehingga mampu menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Tanpa dukungan masyarakat, murid akan terisolasi dalam
dunia teori tanpa mampu melakukan tindakan konkret. Sementara itu, masyarakat
mengharapkan sekolah lebih menonjol dalam mengembangkan aspek kognitif. Dunia
pendidikan formal memang mengutamakan transfer of science and knowledge, yang
diharapkan mampu mendorong murid mengembangkan paradigma modernitas dalam
kehidupannya kelak.
Pemerintah,
sebagai pihak yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warganya tidak
dapat meninggalkan peran dan fungsi masyarakat dalam menuntaskan pendidikan.
Pendidikan tidak melulu mengurusi sarana dan prasarana. Tidak hanya sekedar sebuah
mata anggaran yang statis. Pendidikan adalah sebuah dinamika proses yang
memerlukan kecerdasan untuk menjadikannya wahana yang bermanfaat bagi daerah.
Selama ini masih banyak tokoh pemerintahan yang menempatkan pendidikan sebagai
beban anggaran, bukan investasi masa depan.
Ketiga unsur
stakeholder juga harus menjadi kaca benggala bagi para kompatriotnya.
Masyarakat dapat menjadi umpan balik atau feedback bagi sekolah dan pemerintah.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat menjadi center of excellent, tauladan nilai
dan sumber inspirasi bagi pemerintah dan masyarakat. Pemerintah, sebagai
fasilitator, tinggal merealisasikannya untuk kemaslahatan bersama.
Peranan Tokoh Pendidikan
Ki hadjar Dewantara
Soewardi / Ki Hadjar Dweantara kembali
ke
Indonesia
pada bulan September 1919.
Segera
kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini
kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia
dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di
kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di
tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini
masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di
sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan
umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro
Pengabdian Ki Sarmidi Mangunsarkoro kepada masyarakat, diawali setelah
ia lulus dari Sekolah Guru 'Arjuna' Jakarta langsung diangkat menjadi guru HIS TamansiswaYogyakarta. Kemudian pada Th 1929 Ki Sarmidi
Mangunsarkoro diangkat menjadi Kepala Sekolah HIS Budi Utomo Jakarta. Satu tahun
kemudian, atas permintaan penduduk
Kemayoran dan restu Ki Hadjar Dewantara, ia mendirikan
Perguruan Tamansiswa di Jakarta. Perguruan Tamansiswa di Jakarta itu sebenarnya merupakan
penggabungan antara HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang dua-duanya
dipimpin oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, dan dalam perkembangannya Perguruan
Tamansiswa Cabang Jakarta mengalami kemajuan yang pesat hingga sekarang.
Pada upacara Penutupan Kongres atau Rapat Besar Umum Tamansiswa yang
pertama di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930, Ki Sarmidi Mangunsarkoro
bersama-sama Ki Sadikin, Ki S. Djojoprajitno, Ki Poeger, Ki Kadiroen dan Ki
Safioedin Soerjopoetro atas nama Persatuan Tamansiswa seluruh Indonesia
menandatangani ‘Keterangan
Penerimaan’ penyerahan ‘Piagam Persatuan Perjanjian
Pendirian’ dari tangan Ki Hadjar Dewantara, Ki Tjokrodirjo
dan Ki Pronowidigdo untuk
mewujudkan usaha pendidikan yang beralaskan hidup dan penghidupan bangsa dengan
nama ‘Tamansiswa’ yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Sebagai salah satu orang yang terpilih oleh Ki Hadjar Dewantara untuk
memajukan, menggalakkan serta memodernisasikan Tamansiswa yang berdasarkan pada
rasa cinta tanah air serta berjiwa nasional, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai
beberapa pemikiran demi terlaksananya cita-cita pendidikan Tamansiswa.
Selanjutnya pada tahun 1931 Ki Sarmidi Mangunsarkoro ditugasi untuk
menyusun Rencana Pelajaran Baru dan pada tahun 1932 disahkan sebagai‘Daftar
Pelajaran Mangunsarkoro’. Atas dasar tugas tersebut maka pada tahun 1932
itu juga ia menulis buku ‘Pengantar
Guru Nasional’. Buku tersebut mengalami cetak ulang pada tahun 1935. Dalam
‘Daftar Pelajaran Mangunsarkoro’ yang mencerminkan cita-cita Tamansiswa dan
Pengantar Guru Nasional itu di dalam arus pergerakan nasional di Indonesia
khususnya di Asia pada umumnya, dapat disimpulkan pemikirannya mewakili salah
satu aspek dari kebangunan nasionalisme yaitu aspek kebudayaan, yang pada
hakikatnya merupakan usaha menguji hukum-hukum kesusilaan dan mengajarkan
berbagai pembaharuan disesuaikan dengan alam dan zaman. Dua aspek lainnya
adalah aspek sosial ekonomis yaitu usaha meningkatkan derajat
rakyat dengan menumbangkan cengkeraman ekonomi bangsa-bangsa Eropa Barat,
sedangkan pada aspek politik yaitu usaha merebut kekuasaan politik
dari tangan Pemerintah Kolonialisme Belanda.
Perjuangan Ki Sarmidi Mangunsarkoro
dalam bidang pendidikan, di antaranya pada tahun
1930-1938 menjadi Anggota Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan penganjur gerakan Kepanduan
Nasional yang bebas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Selanjutnya pada tahun
1932-1940 ia menjabat sebagai Ketua
Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Tamansiswa merangkap
Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Pada tahun 1933 Ki Sarmidi Mangunsarkoro
memegang Kepemimpinan Taman Dewasa Raya di Jakarta yang secara khusus
membidangi bidang Pendidikan dan Pengajaran.
Pada
tahun 1947 Ki Sarmidi Mangunsarkoro diberi tugas oleh Ki Hadjar Dewantara untuk
memimpin penelitian guna merumuskan dasar-dasar perjuangan Tamansiswa, dengan
bertitik tolak dari Asas Tamansiswa 1922. Dalam Rapat Besar Umum Tamansiswa
Tahun 1947 hasil kerja ‘Panitia Mangunsarkoro’ bernama Pancadarma itu
diterima dan menjadi Dasar Tamansiswa, yaitu: Kodrat
Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Ki Sarmidi
Mangunsarkoro semakin dikenal di lingkungan pendidikan maupun di lingkungan
politik melalui
Partai
Nasional Indonesia (PNI).
Ki Sarmidi Mangunsarkoro pada tahun
1928 ikut tampil sebagai pembicara dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 menyampaikan pidato tentang
‘Pendidikan
Nasional’, yang mengemukakan bahwa anak
harus mendapat pendidikan kebangsaan dan dididik secara demokratis, serta
perlunya keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah.
Ki Sarmidi
Mangunsarkoro pernah terpilih menjadi Ketua PNI Pertama sebagai hasil Kongres
Serikat Rakyat Indonesia
(SERINDO) di Kediri dan menentang politik kompromi dengan Belanda (Perjanjian
Linggarjati dan Renvile). Sewaktu terjadi agresi Belanda II di Yogyakarta,
Ki Sarmidi Mangunsarkoro pernah ditahan IVG dan dipenjara di Wirogunan
.Pada waktu Kabinet Hatta II berkuasa pada Agustus 1949 sampai
dengan Januari 1950, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mendapat kepercayaan menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP dan K) RI. Sewaktu menjabat Menteri PP dan K, beliau
mendirikan dan meresmikan berdirinya
Akademi
Seni Rupa Indonesia (ASRI) di
Yogyakarta, mendirikan Konservatori
Karawitan di
Surakarta, dan ikut membidani lahirnya
Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Kepercayaan Pemerintah
terhadap reputasi dan dedikasinya kepada Negara, membawa Ki Sarmidi
Mangunsarkoro kembali
dipercaya menjadi
Menteri PP dan K RI pada masa Kabinet Halim sejak Januari 1950 sampai September
1950, dan beliau berhasil
menyusun
dan memperjuangkan di parlemen Undang
Undang No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk
seluruh Indonesia.
UU No 4/1950 itu disahkan dan sekaligus menjadi Undang Undang Pendidikan Nasional pertama.
Dewi Sartika
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang
rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya
yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya,
menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi
Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid
angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian
pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya,
serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada
tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan
memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya
diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah
formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita
yang sama dengan Dewi Sartika. Pada
tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten
se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh,
tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan
Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan
oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola
Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
R. A Kartini
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang
perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan
pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda
terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang
dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia,
antara lain W.R. Soepratmanyang
menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April,
untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagaiHari
Kartini.
Nama
jalan di Belanda
§
Venlo: Di Venlo Belanda
Selatan,
R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di
sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita
Anne Frank dan
Mathilde
Wibaut.
Pasal – Pasal PBK
- Pasal 20 tahun 2003 tentang sisdiknas
Penyelenggaraan pendidikan
dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Jalur
pendidikan formal diselenggarakan di sekolah, sedangkan jalur pendidikan
nonformal diselenggarakan di lingkungan masyarakat yang terdiri atas berbagai
satuan dan jenis program.
- Pasal 26 ayat 4
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis.
- Pasal 170
Direktorat Pembinaan Pendidikan
Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan koordinasi pelaksanaan
kebijakanserta fasilitasi penerapan standar teknis di bidang
pendidikan masyarakat.
Pasal 171
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, Direktorat
Pembinaan Pendidikan Masyarakat menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di
bidang pembelajaran, peserta didik, sarana dan prasarana, kelembagaan, dan
kemitraan pendidikan masyarakat;
b. koordinasi pelaksanaan
kebijakan di bidang pembelajaran, peserta didik, sarana dan prasarana,
kelembagaan, dan kemitraan pendidikan masyarakat;
c. fasilitasi dan pemberian
bimbingan teknis penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembelajaran,
peserta didik, sarana dan prasarana, kelembagaan, dan kemitraan pendidikan
masyarakat;
d.
evaluasi penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembelajaran,
peserta didik, sarana dan prasarana, kelembagaan, dan kemitraan pendidikan
masyarakat; dan
e.
pelaksanaan administrasi Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan.
(2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna
hasil pendidikan.
(3)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1)
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal
sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)
Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya
sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat,
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(4)
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya
lain secara adil dan merata dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1)
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan
pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional,
Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis.
(3) Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu
pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
(4)
Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
No comments:
Post a Comment