- Bawaan;
yaitu karakteristik fisisk yang merespons secara konsisten berbagai
situasi atau informasi.
- Konsep
diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
- Pengetahuan;
yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang;
Welcome
Miss u
Monday 14 November 2011
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Pengertian Kurikulum
Kurikulum pendidikan
tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan
kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.
Kurikulum adalah
serangkaian mata ajar dan pengalaman belajar yang mempunyai tujuan tertentu,
yang diajarkan dengan cara tertentu dan kemudian dilakukan evaluasi.
Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Landasan-landasan dalam
Pengembangan Kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya
merupakan faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu
mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah
maupun luar sekolah. Secara
umum terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut,
yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis.
Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat
dalam membina dan mengembangkan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan.
Filsafat ini menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan tujuan dan
isi kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong
aplikasi pengembangan kurikulum yang berbeda pula. Berdasarkan landasan
filosofis ini ditentukan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional,
tujuan bidang studi, dan tujuan instruksional.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori
belajar (psychology/theory of learning) dan psikologi perkembangan
(developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal
bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus
mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan
strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam
menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan
kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang
harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu
mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu,
keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat,
dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan
bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai
produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya
menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam
dunia iptek.
Nana Syaodih Sukmadinata
(1997) mengemukakan
empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis ; (2)
psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan tekhnologi, (5)
Landasan kebutuhan pembangunan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan
diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.
Landasan Filosofis
Filsafat
memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti :
perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan
rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada
aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan
implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella
Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing
aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada
keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak
sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan
kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada
kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan
waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b. Essensialisme menekankan pentingnya
pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik
agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata
pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang
berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme,
essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c. Eksistensialisme menekankan pada individu
sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahamu kehidupan
seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman
itu?
d. Progresivisme menekankan pada pentingnya
melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan
belajar peserta didik aktif.
e. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi
lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruksivisme, peradaban manusia
masa depan sangat ditekankan. Disamping menekankan tentang perbedaan individual
seperti pada progresivisme, rekonstuktivisme lebih jauh menekankan tentang
pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan
mempertanyakan untuk apa berfikir kritis , memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dan proses.
Aliran
filsafat Perenialisme, Essensialisme, eksistensialisme merupakan aliran
filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum
Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi
pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat
rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam Pengembangan Model Kurikulum
Interaksional.
Masing-masing
aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena
itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan
berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat
ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi
pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
2.
Landasan Psikologis
Nana
Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi
perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya.
Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan
perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya
dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih
berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori
psikologis yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip
pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa
kompetensi merupakan ”karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan
hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang
terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi”.
Selanjutnya, dikemukakan pula
tentang 5 tipe kompetensi, yaitu:
a. Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang
untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
e. Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan
tugas secara fisik maupun mental.
Kelima
kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber
daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih
tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan
motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian
seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah
dikembangkan Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini.
Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan
dikembangkan.
3.
Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum
dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan
pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun kelingkungan masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan
lebih lanjut di masyarakat.
Peserta
didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun
informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat
pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya
menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan
pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi
terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan
diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh
karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan
kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di
masyakarakat.
Sejalan
dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga
turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan
perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di
sekitar masyarakat.
Israel
Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan
manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan
membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang
dikembangkan sudah seharusnya mempertimbankan, merespons dan berlandaskan pada
perkembangan sosial-budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal,
nasional maupun global.
4.
Landasan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Kemajuan
cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir
telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia
sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan
politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan
cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu,
dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan
melalui belajar sepanjang hayat dan standar mutu tinggi. Sifat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih,
sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan
kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn)
dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta menngatasi situasi yang
ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan
dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi, terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh
karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia.
Prinsip-prinsip dalam
Pengembangan Kurikulum
Secara umum prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
meliputi prinsip relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, serta efisiensi dan
efektivitas.
Prinsip relevansi
berkenaan dengan kesesuaian antara komponen tujuan, isi, strategi, dan
evaluasi.
Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang dimiliki guru dalam
mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan program pendidikan
bagi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya.
Prinsip kontinuitas
berkenaan dengan adanya kesinambungan materi pelajaran antarberbagai jenis dan
jenjang sekolah serta antartingkatan kelas.
Prinsip efisiensi dan efektivitas berkenaan dengan pendayagunaan semua sumber secara optimal untuk mencapai
hasil yang optimal.
Prinsip integritas,
kurikulum hendaknya memperhatiakn hubungan antara berbagai program pendidikan
dalam rangka pembentukan kepribadian yang terpadu
Fungsi
kurikulum dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
Kurikulum pada suatu sekolah
merupakan suatu alat atau usaha dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diingini oleh sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk
dicapai. Sehingga salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah meninjau
kembali yang selama ini digunakan oleh sekolah yang bersangkutan.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan
tersebut mesti dicapai secara bertingkat dan saling mendukung, sedang
keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Proses Pengembangan Suatu
Kurikulum
Dalam
perjalanannya dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004
atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan
pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan
terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah
melalui Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang
Standar Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua
Permen tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan
“Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak,
tergantung dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka
pergantian sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum
akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa).
Namun,
kalau sudut pandangnya nonpolitis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal
yang biasa dan suatu keniscayaan dalam rangka merespons perkembangan masyarakat
yang beitu cepat. Pendidikan harus mampu menyesuaikan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat, terutama tuntutan dan kebutuh masyarakat. Dan itu bisa
dijawab dengan perubahan kurikulum. Seorang guru yang nantinya akan
melaksanakan kurikulum di kelas melalui proses belajar mengajar, dipandang
perlu mengetahui dan memahami kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia.
Dengan demikian, para guru dapat mengambil bagian yang terbaik dari kurikulum
yang berlaku di Indonesia untuk diimplementasikan dalam menjalankan proses
belajar mengajar.
1.
Kurikulum 1968
Sebelum
diterapkan kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana Pelajaran
yang pada waktu itu menteri pendidikannya dijabat Mr. Suwandi. Rencana
Pelajaran 1947 memuat ketentuan sebagai berikut: (l) bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa pengantar di sekolah; (2) jumlah mata pelajaran untuk Sekolah
Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17 bidang studi, SMA jurusan B 19 bidang
studi. Lahirnya Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem per
sekolah pasca Indonesia merdeka yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan
tetapi, pembenahan ini baru bisa diterapkan pada tahun 1965 melalui keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem Pendidikan Nasional
Pancasila. Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Setelah
berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/I966
yang berisi tujuan pendidikan membentuk manusia Pancasilais sejati. Dua tahun
kemudian lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang
terstruktur pertama kali (Cony Semiawan, 19B0). Tujuan pendidikan menurut
Kurikulum 1968 adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat
keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Ketentuan-ketentuan dalam
kurikulum 1968 adalah: (1) bersifat: correlated subject currikulum; (2) jumlah mata
pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi (Bahasa
Indonesia dibedakan bahasa Indonesia I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi,
SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan SMA C 19 bidang studi; (3) penjurusan
SMA dilakukan di kelas II. Pada waktu diberlakukan Kurikulum I968 yang mejabat
menteri pendidikan adalah Mashuri. S.H.
2.
Kurikulum 1975
Kurikulum
ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb (1973-1978).
Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah: (1) Sifat: integrated curriculum
organization; (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang
studi; (3) pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA); (4) pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi
Matematika; (5) jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi; (6)
penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester
II kelas 1. Ketika belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975,
mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat.
Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3.
Kurikulum 1984
Kurikulum
ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum
1984 adalah: (1) Sifat: Content Based Curnculum; (2) Program pelajaran mencakup 11 bidang studi;
(3) Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi; (4) Jumlah mata
pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program
pilihan; (5) Penjuusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu
Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 (Ilmu Agama); (6) Penjurusan
dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal ini bisa dimaklumi karena
menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam
perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat
beban sehingga diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4.
Kurikulum 1994
Kurikulum
ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman
Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ.
Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah: (l)
bersifat: Objective Based Curriculum: (2) nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum); (3) mata
pelajaran PSPB dihapus; (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata
pelajaran; (5) Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata
pelajaran; (6) Penjurusan SMA dilakukan di kelas II yang
dari
program IPA, program IPS, dan program Bahasa. Ketika reformasi bergulir tahun
1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka
mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn
1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian
materi pelajaran, terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa
mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi kurikulum ini pun mengalami nasib yang
sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas
kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
5.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004)
Kurikulum
Berbasis Kompetensi lahir di tengah-tengah adanya tuntutan mutu
pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan
Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tetangga pun yang
dulu belajar ke Indonesia, seperti Malaysia, Indonesia tertinggal dalam hal
mutu pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap hanya melahirkan lulusan yang
akan menjadi beban negara dan masyarakat, karena kurang ditunjang dengan
kompetensi yang memadau ketika terjun dalam masyarakat. Untuk merespons hal
tersebut pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menawarkan kurikulum
yang dianggap mampu menjawab problematika seputar rendahnya mutu pendidikan
dewasa ini. Karena dalam Kurikulum Berbasis Komperensi peserta didik diarahkan
untuk menguasai sejumlah kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan
(Kunandar, 2005).
Kurikulum
Berbasis Komperensi digagas ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Abdul
Malik Fadjar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi adalah: (1) bersifat: Competency Based Curriculum: (2) penyebutan
SLTP menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU menjadi SMA 9Sekolah
Menengah Atas); (3) program pengajaran SD disusun 7 mata pelajaran;
(4) program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran; (5) program pengajaran
SMA disusun dalam 17 mata pelajaran; (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas II,
terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, dan Bahasa (Kompas, 16 Agustus 2005)
Kurikulum Berbasis Kompetensi meskipun sudah
diujicobakan di beberapa sekolah melalur pilot project, tetapi ironisnya
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan
kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan
kurikulum ini. Hal ini dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritik
dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan.
Beberapa kritik terhadap kurikulum ini adalah: (1) Masih sarat dengan materi
sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi seperti yang terjadi pada
kurikulum 1994 akan terulang kembali; (2) pemerintah pusat dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi terhadap kewenangan
sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum tersebut; (3) masih belum
jelasnya (bias) pengertian kompetensi sehingga ketika diteraplkan pada standar,
kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif; (4) adanya sistem penilaian yang
belum begitu jelas dan terukur.
Melalui
kebijakan pemerintah, kurikulum berbasis kompetensi mengalami revisi, dengan
dikeluarkannya Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Diknas Nomor
23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Diknas Nomor 24 tentang
Pelaksanaan kedua permen di atas. Ketiga permen tersebut dikeluarkan pada tahun
2006. Dengan dikeluarkannya ketiga permen tersebut seakan menjawab ketidakjelasan
nasib KBK yung selama ini sudah diterapkan di beberapa sekolah, baik melalui
pitot project atau swadaya dari sekolah tersebut. Keterandan dan keunggulan
kurikulum ini pun masih perlu diuji di lapangan dan waktu yang nanti akan
menjawabnya.
6.
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP)
Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi atau ada yang menyebut Kurikulum 2004. KTSP lahir karena
dianggap KBK masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal
ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum.
OIeh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat
satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan
untuk mengembangan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa
komponen kurikulum lainnya.
Beberapa
hal yang melatarbelakangi penyusunan kurikulum baru
1.
Adanya peraturan penundang-undangan yang baru
telah membawa implikasi terhadap paradigma pengembangan kurikulum pendidikan
dasar dan menengah antara lain pembaharuan dan divensifikasi kurikulum, serta
pembagian kewenangan pengembangan kurikulum.
2.
Perkembangan
dan perubahan global dalam
berbagai aspek kehidupan yang datang begitu cepat telah menjadi tantangan
nasional dan menuntut perhatian segera dan serius.
3.
Kondisi
masa sekarang dan kecenderungan di masa yang akan datang perlu dipersiapkan
generasi muda termasuk peserta didik yang memiliki kompetensi yang
multidimensional.
4.
Pengembangan
kurikulum harus dapat mengantisipasi persoalan-persoal-an yang mempunyai
kemungkinan besar sudah dan/atau akan terjadi.
Hal yg perlu diperhatikan
dalam pengembangan kurikulum
1. kemudahan suatu analisis tujuan
2. rancangan suatu program
3. Penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan
4. peralatan dalam evaluasi proses
Dalam
Sukmadinata (2006 : 158), ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum, yaitu :
·
Perguruan Tinggi
·
Masyarakat
·
Sistem nilai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment