PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL
Apa itu Pembelajaran
Berbasis Multikultural?
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam
praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan
persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant,
1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan
manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi
jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan
keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah
satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat
bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat
membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya,
keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan
multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan
pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara
seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada
dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat
berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya
(Banks, 1993).
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural
mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada
perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya
yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik
dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang
berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik
berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai
kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah
pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status
sosialnya.
Pembelajaran
berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan,
keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif
menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan
multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan
pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum
yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran
berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa
hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja
bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara
langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa
bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat
(Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam
upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai
perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap
positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
Tujuan
pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk
memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka
ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan
siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan
sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan
lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan
kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995)
Di samping
itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan
untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1)
membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan
kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya
untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Rasional
tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini
dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan
terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi
prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara)
antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan
(nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang
potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan
afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola
proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan
kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai
yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan
kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang
bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan
mengurangi prasangka.
Kondisi
keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan
potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang
merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap
etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang
menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras
lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas
budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain,
berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang
diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok
secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota
kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam
mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan
jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996)
Melalui
pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam
mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk
dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang
sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam
memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada
menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu
mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif.
Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep,
pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang
lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta
mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui
bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di
dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan
bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.
Dimensi dan Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Multikultural
James A. Banks (1993, 1994-a),
mengidentifikasi ada lima
dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam
mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan
pelajar (siswa), yaitu:
- Dimensi
integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru
untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan
merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru
menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan
beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah
mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka
dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai
kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya
tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit
atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
- Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge
construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk
memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi
oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan
dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada
diri mereka sendiri;
- Dimensi
pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha
untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang
perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan
perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang
berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa
mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi
yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran
yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan
menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan
terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke
sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak
melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar
kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook
multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang
kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi
terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat
menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar,
etnik dan kelompok budaya lain.
- Dimensi
pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan
cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah
pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok.
Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya
memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama
(cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif
(competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang
dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis
kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan
kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak
dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
- Dimensi
pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture
and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya
siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di
samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang
memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik
struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok,
iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan
penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan
yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah
pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan
perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada
umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang
untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu
secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang
sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut,
dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan
musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada
siswa. Pendekatan ini terfokus pada
isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple
Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas
dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya,
guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini,
Bannet dan Spalding (1992) menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan
perspektif ganda, dengan alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk
menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda
oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai
kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok
(karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik
oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage
& Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak
pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong
siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok
yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian
(Byrnes, 1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan
sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka
juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel,
dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran
dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama
dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang
fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang memiliki rasa empati yang besar
memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang.
Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok
lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif
tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992). Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran
yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang
berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
No comments:
Post a Comment